RSS

Sekrinandia – The City of Farm

04 Sep

Beliau bilang padaku untuk memanggilnya dengan nama Kaskiou saja. Hanya Kaskiou. Namun aku lebih memilih untuk memanggilnya nona Kaskiou. Awalnya ia menggerutu setiap kali aku memanggilnya seperti itu. Tapi lamat, ia memaklumi hal itu sebagai kebiasaan yang tak pernah bisa diubah bila kau memang tak ingin.

Berbeda dengan majikan lamaku dulu, saat ia baru mendapatkanku dari tempat lelang yang sama, ia memberiku tanda dan pelajaran untuk tidak membantah. Namun nona Kaskiou akan marah setiap kali aku menurut tanpa ada bantahan berarti saat aku merasa tidak setuju atau keberatan. Bagaikan buku ia bisa menebak apa yang aku pikirkan.

Aku selalu kesulitan untuk memenuhi keinginannya bila menggunakan pelajaran yang pernah diajarkan semenjak sepuluh tahun pertama kehidupanku. Dan selama apa pun aku berusaha menjadi pelayan yang bisa memenuhi keinginannya, ia tak pernah memberiku perintah yang pasti.

Hanya sekali ia memberiku perintah. Perintah pertama dan terakhir. Karena setelahnya hanya ada pilihan bukan perintah langsung.

Dan perintah itu adalah agar aku hidup seperti apa yang aku inginkan. Jujur, sampai saat ini aku masih kesulitan mengerti apa yang ia maksud dengan hal itu.

***

Hal pertama yang aku ketahui mengenai nona Kaskiou adalah ia senang menggoda seseorang.

Saat itu adalah musim semi pertama aku mulai melayani beliau. Awalnya aku berpikir bahwa ia adalah seorang nona muda yang tinggal di kastil mewah. Tapi aku salah. Beliau adalah seorang peramu yang menghabiskan hidupnya untuk berkeliling dunia dan mempelajari berbagai macam hal yang baru.

Tidak jarang kami singgah di suatu tempat lebih dari sebulan hanya untuk menunggu nona Kaskiou menghabiskan buku di perpustakaan setempat. Saat seperti itu biasanya aku habiskan untuk memperhatikan daerah sekitar dan mencari hal-hal baru yang sekiranya bisa menjawab pertanyaanku mengenai tugas pertama dan sepertinya akan menjadi tugas terakhir bagiku.

Tapi kita lewati bagian ini.

Tempat pertama nona Kaskiou mengajakku adalah sebuah daerah terpencil di dataran Sekrinandia—kota para petani dan peternak. Jarang ada yang mengetahui tempat tersebut. Dan akibatnya wilayah yang terbilang cukup luas itu sangat asri dan hijau sejauh mata memandang. Walau ada warna-warni lain yang begitu indah setelah alam menghabiskan cukup banyak waktu untuk membentuk pola tersebut.

“Kau menyukainya, Mika?” tegur nona Kaskiou. Aku menoleh, menatap sosoknya yang saat itu tengah menyandar pada pagar kayu lapuk yang membatasi jalan setapak dengan hamparan rumput hijau dan bunga yang baru atau hendak bermekaran.

Cukup ragu aku memberikan jawaban dengan sebuah anggukan kecil. Itu adalah kali pertama ada yang bertanya padaku pertanyaan seperti itu.

“Kalau begitu sebaiknya kita bergegas mencari penginapan, setelah itu kau bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi untuk menikmati alam,” decaknya lembut.

Aku tertegun, sama sekali tidak menyangka akan diberikan waktu bebas seperti itu. Biasanya bila sang majikan tidak memerlukanku, maka ada seseorang yang menuntunku menuju sel jeruji penjara bawah tanah. Tapi kali itu, nona Kaskiou membiarkanku menghabiskan waktu untuk memperhatikan hamparan keindahan.

Beliau sama sekali tidak memberiku waktu untuk menjawab. Melangkah pasti di atas jalan setapak yang disusun sedemikian rupa menuju sebuah komplek perumaah kecil yang tersusun rapi tepat di bawah sebuah tebing yang terjal. Desa Giribotey bila aku tak salah ingat. Nona Kaskiou memberitahuku tujuan kami saat ini sebelum memulai perjalanan.

“Oh, lihat siapa yang kita temui di sini?” sebuah suara terdengar.

Nona Kaskiou menghentikan langkahnya, melirik semak-semak yang ada di sisi kanan sebelum mendecak sebal. Di sana, berdiri seorang pria dengan pakaian khas seorang pemburu. Di tangan kanannya ada sebuah senapan laras panjang yang belum pernah kulihat modelnya. Biasanya akan ada tali untuk memicu bubuk mesiu, tapi miliknya tidak ada sama sekali.

“Lama tak jumpa, Kirik,” dengus nona Kaskiou sinis.

Sesaat setelahnya ia melanjutkan perjalannya yang sempat tertunda. Meninggalkan pria yang terlihat mematung dengan sikap dingin nona Kaskiou dan aku yang harus berlari kecil untuk mengikuti kecepatan berjalan beliau.

Samar aku mendengar pria yang kelihatannya bernama Kirik itu bergumam sendiri. Entah apa tapi hal yang kutangkap saat itu adalah seperti ini; “…ragu…seorang…hantu…lalu…”

***

“Pr-pria tadi… N-Nona memben-membencinya?”

Saat itu nona Kaskiou tidak segera menjawab pertanyaanku. Beliau justru memberiku tatapan sebal yang biasanya digunakan oleh mantan majikanku saat butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalan. Jujur saja, waktu itu aku merasa ragu untuk memutuskan apa yang sebaiknya aku lakukan.

“Kaskiou,” koreksinya dan aku reflek menundukkan kepala seraya meminta maaf. Tapi justru semakin membuat beliau terlihat kesal. “Lupakan. Aku tidak kenal Kirik kok.”

“T-tapi Nona ta-ta-tahu n-namanya?” ujarku kebingungan.

Sesaat aku merasa wajah jelita beliau dipenuhi keraguan. Seolah tengah memilah-milah kalimat apa yang sebaiknya diucapkan padaku. Tapi beliau memilih untuk menggeleng pelan dan kembali pada kegiatan awalnya—memasukkan benda-benda yang entah apa ke dalam kuali kecil di dalam perapian.

“Sudahlah, baiknya lupakan saja, lagipula kita tak akan bertemu dengannya.”

Sejujurnya, bila aku mengingat hal itu, aku ingin rasanya tertawa kecil. Karena beberapa musim berikutnya aku bisa melihat nona Kaskiou yang salah tingkah karena harus bertemu dengan pria bernama Kirik itu lagi. Dan juga… saat itu aku menyadari hal yang aneh dari keduanya. Tapi kita kesampingkan dulu kisah itu… benar begitu, bukan?

Aku menurut saja dengan kalimat dari nona Kaskiou. Aku tidak memasukkan ucapan beliau sebagai perintah, karena aku ingat benar itu memanglah bukan perintah karena beliau mengucapkannya sebagai sebuah pilihan semata.

Saat itu detak jarum jam berbunyi samar, dan saat aku menghabiskan waktu sampai nona Kaskiou memberiku komando—apa pun itu—bahwa ia memberiku ijin untuk keluar dan melakukan apa yang beliau janjikan.

Saat jam dinding berdentang tanda matahari sudah terbenam, beliau berbalik setelah empat jam lebih berkutat dengan hal yang entah apa. Awalnya aku berpikir bahwa nona Kaskiou sudah melupakan apa yang ia janjikan. Tapi beliau hanya menatapiku bingung dengan sebelah alis naik dengan cukup elegan.

“Bukankah kau ingin melihat padang bunga tadi?”

Hal pertama yang kulakukan adalah tertegun. Adalah sesuatu yang salah bila aku tidak menjawab pertanyaan beliau. Tapi aku harus bicara apa? Aku tak tahu harus berkata apa dengan pertanyaan beliau barusan.

“Mika, apa kau menungguku memberimu ijin dulu?” tanyanya. Sedikit merunduk dan menumpu pada lututnya. Dengan cepat aku mengangguk. “Kau menyebalkan.”

Aku terpekik pelan. Pengalaman mengajarkanku bahwa saat seseorang mengatakan aku menyebalkan, itu adalah tanda pertama bahwa aku akan kembali berjalan-jalan di tempat lelang. Dan apa aku ingin ke tempat lelang sekali pun belum ada satu minggu aku keluar dari tempat itu? Kau pasti bercanda.

“Ma—maaf! Sa-saya…”

“Lupakan. Sebaiknya kau segara mandi, setelah itu kita makan malam,” mendengus kecil, nona Kaskiou menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur besar di sudut ruangan. Memangku koper kecil miliknya, mencari sesuatu yang entah apa.

Tapi aku masih diam di tempat, berusaha memproses apa yang baru saja beliau katakan. Dan saat kristal emas itu kembali menatapiku, beliau mendesah pelan.

“Aku tahu anak kecil tidak suka mandi dan lebih memilih langsung tidur. Tapi sungguh, apa kau akan berdiri di sana sampai pagi? Setidaknya kau suka bermain air, kan?” decak beliau sedikit geram.

Aku menelengkan kepala. Berusaha memproses yang sedang beliau katakan kali itu. Lalu tanpa sadar menggigit ujung ibu jari kananku. Menangkap gestur tidak mengerti yang tanpa sadar aku lakukan, nona Kaskiou mendecak.

“Ada pertanyaan?”

“A-anu…”

“Katakan saja…”

“Um… a-anu… m-mandi itu… bagaimana?”

Detik berikutnya yang aku tahu hentakkan sepatu hak tinggi milik nona Kaskiou sudah bergema di sekitar ruangan dan aku diseret menuju ruangan yang dindingnya didominasi keramik warna biru.

Sejujurnya saja, aku tidak pernah ingat diajarkan untuk mandi. Jadi saat beliau menyuruhku, aku tidak punya pilihan lain selain bertanya hal—yang bagiku—absurd seperti itu.

Dan untuk pertama kalinya… aku berpikir bahwa air yang sudah dipanaskan itu menyenangkan. Terutama bila ada busa-busa mengelilingimu—walau aku harus melirik ke arah lain saat nona Kaskiou memutuskan untuk sekalian saja mandi denganku setelah memandikanku, merasa yakin bahwa aku akan sibuk memperhatikan benda kenyal berbentuk bebek warna kuning yang tengah mengapung.

***

Aku sama sekali tidak mengerti cara menggunakan alat makan. Sejak dulu makanan yang pernah masuk dalam mulutku adalah roti keras yang gagal buatan koki istana. Jadi aku tidak terlalu tahu makanan apa lagi yang bisa dimakan. Saat sedang dalam perjalanan ke Sekrinandia pun aku sedikit salah tingkah saat nona Kaskiou memberikanku buah apel. Butuh waktu sekitar setengah jam bagiku untuk memutar balikkan benda berwarna merah itu untuk akhirnya bertanya pada beliau benda itu untuk apa.

Sekarang kalau diingat lagi aku tak pernah menghabiskan hari tanpa bertanya pengetahuan paling dasar pada nona Kaskiou. Ah… waktu itu aku sepolos apa sih?

Kembali pada masalah alat makan. Selesai melakukan kegiatan yang bernama ‘mandi’, nona Kaskiou mengajakku ke lantai bawah. Menuju tempat yang diperuntukkan sebagai ruang makan khusus, kata nona Kaskiou itu disebut ‘restoran’.

Waktu itu hari memang sudah terlalu larut—dua jam lebih aku dan nona Kaskiou menghabiskan waktu di dalam kamar mandi, karena beliau harus mengajariku dari hal paling mendasar—rembulan saja hampir mencapai sepertiga dari ketinggian puncaknya. Jadi bukan hal yang aneh bila di sana hanya ada aku dan nona Kaskiou bersama beberapa orang dewasa lain yang kelihatannya pegawai di tempat ini.

Memutar-mutar benda bernama sendok—aku tahu namanya, tapi aku tak tahu cara penggunaannya—aku berusaha menemukan cara yang benar untuk memegangnya. Sudah ada beberapa bercak berwarna nila di taplak meja sekitar piringku. Dari sepuluh kali percobaaanku menyuap, aku hanya berhasil dengan setengah isi sup tumpah dan setengahnya berhasil masuk ke dalam hidungku.

Ingin rasanya aku memekik pelan dan meminta nona Kaskiou mengajariku. Tapi saat itu aku hanya gadis polos nan manis—lupakan, aku seharusnya tidak mengucapkan dua kata terakhir—yang merasa bahwa hal tersebut adalah hal yang salah. Dan berakhir padaku yang menatap nanar sosok yang belum sadar karena sejak masuk beliau sudah ditegur oleh pemilik penginapan dan diseret ke sudut ruangan—meninggalkanku yang mencari cara untuk makan dengan benar saat orang dewasa berpakaian hitam putih menyajikan makanan bernama sup sambil berkata nona Kaskiou yang memesankan.

Hei, apa mungkin menenggaknya langsung dari pinggiran piring bukan masalah besar?

Awalnya aku mau melakukan hal itu, tapi seseorang menahanku yang hendak meletakkan sendok ke atas meja.

“Kau bodoh ya?” dengus seseorang itu.

Menengadahkan kepalaku, dan aku tanpa sadar aku mengerucutkan bibirku saat menemukan sosok anak laki-laki yang sekiranya ada di usia yang sama denganku. Kristal berwarna hijau cantik, mirip dengan pucuk daun yang munculdi ujung ranting bahkan sebelum salju sepenuhnya mencair, dengan bingkai rambut hitam berantakkan terlihat kontras dengan kulit putih bersinarnya.

“Si-siapa yang k-kau ma-mak-sud b-bodoh, kurang ajar!” sungutku. Detik berikutnya aku menutupi mulutku dengan kedua tangan. Menundukkan kepala cepat seraya meminta maaf.

Anak laki-laki berbalut overall warna biru tersebut menghela nafas pelan. Mengambil tempat duduk di sampingku dan tanpa ijin menyendok sup yang sekarang sudah dingin.

“Buka mulutmu!” perintahnya. Aku tidak menurut dan justru menjauhkan wajahku dari sendok yang ia acungkan padaku.

“A-apaa!?”

“Aku sudah berbaik hati menyuapimu. Sekarang buka mulutmu, gadis idiot!”

“Si-Siapa yan— ucapanku terhenti saat dengan paksa ia memasukkan sendok pada mulutku yang sedikit terbuka.

Kontan saja aku sedikit tersedak, tapi pada akhirnya aku berhasil menelan sup yang sejak tadi ingin kumakan. Ia tersenyum puas saat aku tidak memuntahkannya lagi. Dan hal berikutnya yang aku tahu, aku hanya menurut saat ia memintaku untuk membuka mulut lagi. Anak aneh, kukatakan itu, ia benar-benar anak aneh waktu itu.

“Jadi siapa namamu, idiot?”

“Mi-Mi-Mika.”

“Idiot.”

Aku merengut mendengar komentarnya saat aku mengucapkan namaku. Ingin rasanya aku menusuk bintik di sekitar pipinya, atau mungkin mencubitnya seperti yang nona Kaskiou lakukan saat aku tidak hentinya memanggil beliau dengan sebutan nona saat sedang memandikanku tadi.

“K-ka-kau menyebal-balkan!” balasku sengit.

Kedua sudut bibirnya naik beberapa mili, menyeringai bila aku bisa menjelaskannya dengan kalimat lain. Seolah menikmati saat tengah mengerjaiku. Menjulurkan lidahnya kecil dan ia beranjak meninggalkanku, berlari kecil memasuki pintu dapur… dan hilang dari hadapanku.

Aku diam, masih merengut kesal dengan perlakuan dari anak tersebut. Dulu memang ada beberapa anak seusia yang bekerja di bawah majikan yang sama denganku. Tapi mereka tidak pernah berlaku tidak sopan seperti itu, mereka hanya mengabaikanku dan lebih memilih untuk bergelung di sisi penjara—menyandarkan punggung mereka pada dinding berlumut.

Menghela nafas pelan dan aku mulai menoleh ke samping, mencari tahu apa yang sedang nona Kaskiou lakukan. Untuk setelahnya menjerit tertahan.

“N-Nona!” pekikku salah tingkah.

Nona Kaskiou berjongkok di hadapanku, menopang dagu dengan tangan kanan dan jarak di antara wajah kami hanya beberapa centi, memberiku pandangan yang lebih jelas dengan kilau jahil dalam kristal-kristal cantik miliknya.

“Mika nakal ya~” gumam beliau. Berdiri dari posisinya seraya menutupi bibir tipisnya dengan punggung tangan, ditambah kepala yang sedikit mendongak membuatnya memandang rendah padaku. Suatu saat nanti aku akan mengerti itu adalah gestur yang biasa digunakan untuk menggoda seseorang.

“Na-nakal?”

“Ah… padahal dulu Roy tidak pernah seramah itu…”

“R-Roy?”

Menyeringai kecil, nona Kaskiou menatapiku lama. Sejujurnya aku tidak tahan untuk segera berlari memasuki kamar dan bersembunyi di bawah selimut dengan pandangan yang seolah tengah menelanjangiku tersebut—dalam artian yang jauh berbeda dibandingkan majikanku yang lalu.

“Besok pagi kita jalan-jalan ke ladang sebentar, jadi pastikan kau bangun pagi,” girang nona Kakiou entah karena apa. “Dan itu bukan perintah. Hanya saran bila kau tak ingin kembali ke penginapan saat matahari terbenam.”

Aku hanya mengerjap pelan dengan ucapan tersebut. Dan mengangguk.

***

Nama anak itu Roy Julio, anak kedua dari seorang petani jagung di Sekrinandia—atau tepatnya desa Giribotey. Kata nona Kaskiou, dia cukup pemalu dan tertutup pada orang yang baru dikenalnya. Tapi bagiku, dia tidak lebih dari anak laki-laki menyebalkan yang senang memaki orang lain.

“Susan, lama tak jumpa,” sapa nona Kaskiou pada seorang wanita yang berdiri di tengah ladang, membenarkan orang-orangan sawah yang sedikit miring.

Wanita yang disapa berbalik, melemparkan sebuah senyuman miring pada nona Kaskiou yang melambai kecil padanya. Rambut hitam pajang miliknya diikat tinggi dengan beberapa helai mencuat keluar. Tubuh sintal yang dibalut pakaian overall berawarna biru melapisi kemeja merah kotak-kotak. Ada beberapa noda merah pada sarung tangan kain berwarna putih miliknya.

“Lama tak bersua, Kiou,” ujar wanita tersebut. Bibir kecoklatan miliknya menyunggingkan sebuah senyuman kecil yang manis. “Dan… anak manis ini?”

“Dia Mika, teman seperjalananku.”

Aku mengerjap kecil, menatap nona Kaskiou yang tidak menatapku. Sementara itu Susan mendecak pelan, memandang nona Kaskiou dengan tatapan yang entah apa.

“Oh ya, apa Roy ada? Kurasa ia akan bisa menjadi teman bermain yang baik dengan Mika selama aku menyelesaikan pekerjaanku,” ucap nona Kaskiou.

Susan menaikkan alisnya, mengeluarkan suara mendenggus kecil sebelum menunjuk ke arah padang bunga yang terletak tidak jauh dari ladang jagung.

“Kurasa ia ada di sana tadi dengan Yumi,” jelasnya.

Nona Kaskiou melirik padaku. Mengedikkan bahu seolah memintaku melakukan apa yang baru saja ia sarankan secara tidak langsung. Menemui anak meyebalkan bernama Roy di padang bunga.

“Ha-haruskah…” desisku sepelan mungkin.

Sama sekali tidak berniat mengucapkan apa pun lagi, aku mengangguk lemah, berlalu pergi menuju arah yang ditunjuk oleh Susan.

***

“Ah, gadis idiot,” gumam Roy saat menyadari keberadaanku yang tengah berjalan ke arahnya.

Seorang gadis remaja duduk tidak jauh dari tempat Roy, berlindung dari terpaan mentari dengan bayang gelap yang diciptakan oleh dedaunan pohon apel. Sosok yang memiliki banyak kemiripan dengan Susan, hanya saja ia mengenakan pakaian yang lebih feminim berupa dress terusan berwarna nila dan motif bunga lily di bagian bawahnya.

“Roy, bersikap yang sopan,” sengit gadis itu. Bila aku tak salah memperkirakan berarti ia adalah Yumi. “Kau yang semalam bersama Kiou kan?” tanyanya disertai senyuman lembut.

Aku mengangguk kecil, sedikit membungkukkan badanku dengan gestur yang sama yang dilakukan saat aku tengah menghormat pada mantan majikanku.

“Sa-saya Mika, nona Kaskiou me-miminta s-saya men-mene-nemani… beliau.” Sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak mendelik pada Roy, berusaha agar terlihat seperti melirik pada sosoknya yang tidak ambil pusing dengan teguran dari Yumi dan memilih untuk menganyam bunga liar yang dipetiknya.

“Nona?” ulang Yumi penasaran. “Tidak kusangka ada yang mau memanggil Kiou seformal itu, terakhir kali aku mencobanya dan ia menolak bicara denganku,” tambahnya disertai kikikkan kecil. “Oh, dan kurasa aku lupa memperkenalkan diri, cukup tidak sopan, eh? Aku Yumi dan yang itu Roy, aku yakin ia tidak menyebut namanya saat aku meminta dia menemanimu.”

Aku mengangguk kecil. Memperhatikan saat Roy melemparkan beberapa tangkai bunga dandelion pada Yumi. Merengut seperti anak kecil—tapi dia memang anak kecil sih.

“Su-suatu… kehor-mat-an ber-bertemu dengan A-Anda sekalian.”

“Kau gagap ya, gadis idiot?”

Kali berikutnya Yumi menjitak pelan kepala Roy, membuat anak laki-laki tersebut meringis kesakitan. Mungkin aku salah bila menyebut itu sebagai jitakan pelan.

“Apa yang kau lakukan sih, berapa kali aku mengajarimu untuk bersikap ramah pada anak perempuan?”

“Tapi dia memang bodoh kok! Dia bahkan tidak bisa menggunakan sendok dengan benar!” marah Roy.

Aku sedikit menunduk, lebih memilih memperhatikan sepatu pentofel berwarna coklat milikku dibandingkan harus memperhatikan ‘pertengkaran’ di antara keduanya. Sedikit banyak aku sadar bahwa objek yang saat itu tengah dipertentangkan adalah aku. Dan itu… adalah hal yang menyebalkan.

Dua tahun lalu tanpa segan istri mantan majikanku mengunciku di kamar penuh ular berukuran besar, beruntung ular-ular itu baru saja diberi makan sehingga aku masih utuh saat kepala pelayan mengeluarkanku dua hari setelahnya. Dan itu diawali karena pertengkaran di antara keduanya dengan aku sebagai penyebab pertengkaran—walau aku tidak tahu apa.

“…—kau baik-baik saja?” tanya Yumi menyedarkanku. Hampir sama seperti pose nona Kaskiou semalam yang merunduk di hadapanku. Hanya saja kali ini tidak ada sirat jahil dalam kristal miliknya, tapi aura lain yang tidak kukenal… begitu asing.

“Ma-maaf, s-saya a-a-agak mel-melamun…” balasku.

Yumi tersenyum simpul saat mengelus rambutku. Sementara di belakang Yumi terdengar runtukkan suara menyebalkan milik Roy. Sedikit memiringkan badanku untuk melihat sosok yang ditutupi Yumi, aku memperhatikan Roy yang terlihat gusar saat mencabuti beberapa jumput bunga dandelion dan merangkainya. Aku tidak ahu apa tang ingin ia buat, tapi aku sangat yakin, benda yang tengah ia rangkai sangat jauh dari kata benda yang sebenarnya. Istilah mudahnya… tidak memiliki bentuk.

“Ke-kali-kalian… t-tidak ber-teng-tengkar lagi?” tanyaku.

Yumi menggeleng pelan.

“Nah… aku hanya perlu memukulnya sekali agar ia diam.”

“Wanita barbar!”

“Mau kupukul lagi, heh?”

Roy bungkam. Kembali menekuni apa pun benda yang gagal ia buat.

Setelahnya Yumi kembali duduk di bawah pohon apel besar. Mengambil buku yang sebelumnya ia taruh dengan posisi hendak melanjutkan apa yang belum selesai ia baca. Me;irik padaku yang masih belum beranjak, Yumi mendesah kecil.

“Mika, kau tertarik untuk membaca?”

“Ah—um… i—”

“…—jangan bilang kau tidak bisa membaca,” potong Roy keras.

Tanpa sadar aku sedikit berjengit dengan volume suara yang dikeluarkan Roy dan berjengit lagi saat buku tebal milik Yumi melayang mengenai sisi kepala Roy.

“Ma-maaf…” gumamku lemah. Memberi jawaban tidak langsung bahwa apa yang dikatakan oleh Roy adalah benar. Aku sama sekali tidak tahu cara membaca. Ayolah, mana ada yang mau bersusah payah mengajari pengetahuan umum pada budak waktu itu. Tapi sekarang aku bisa menyangkal pendapat itu, ada perusahaan penjualan budak legal yang hanya menjual budak terdidik—dengan kata lain aku sedang sial karena jatuh ke tangan pejual budak ilegal, begitu kan?

“Nah… abaikan saja. Bagaimana bila aku mengajarimu cara membaca?”

Yumi tersenyum kecil. Senyuman yang begitu lembut dan asing. Tanpa sadar aku balas tersenyum, senyuman kaku yang sedikit menyeramkan bila aku memperhatikan cermin dan mempraktekannya.

“B-boleh?”

Ia mengangguk kecil. Menggandeng tanganku tanpa sedikit punmemberi rasa nyeri pada pergelangan tangan yang ia genggam. Dan beberapa jam sebtelahnya aku mulai menghafal beberapa bentuk yang sebelumnya hanya terlihat seperti goresan-goresan tanpa arti. Menemukan sebuah kisah menarik yang hanya berhasil kubaca hingga pertengahan karena Yumi terlanjur tertidur dengan buku tebal lain menutupi wajahnya.

***

“Oi, Idiot!”

“N-namaku M-Mika, Brengsek.”

Roy mengebaikan protesanku. Memberiku sinyal untuk mendekatinya yang hanya berjarang beberapa meter. Mengikuti kebiasaan yang sudah mendarah daging padaku, aku menurut. Dengan langkah ragu mendekati sosok yang tengah berjongkok di dekat kumpulan bunga dandelion dengan beberapa petak hanya berupa bekas tangkai yang dipetik sembarangan.

“A-apa?” tanyaku berusaha terdengar kesal.

Roy mendengus kecil. Melirik ke arahku beberapa saat sebelum meletakkan benda yang baru saja dibuatnya ke atas kepalaku dengan kasar. Rangkaian bunga kuning diselipi beberapa warna pink pucat dan merah terang, diselingi dengan cuatan tankai dan kelopak hijau memberi aksen manis yang jauh berbeda dengan saat ia mengerjakannya tadi.

Benda yang seharusnya tidak dapat diidentifikasikan kini terlihat seperti mahkota. Mengingatkanku pada lukisan tua yang sekilas kulihat mengenai seorang wanita bergaun putih dengan rangkaian daun keemasan seperti mahkota ada di atas kepalanya. Kepala pelayan bilang itu adalah lukisan seorang dewi kuno yang pernah menjadi mitos terkenal di suatau negara pada masa lalu.

“Eh?”

“Untukmu,” gumam Roy pelan. Kembali membungkuk dan memetik bunga lain, kembali merangkainya dan kemungkinan membuat mahkota bunga lain.

“Te-terima k-kas-sih.”

“Hn, setidaknya ada yang menghiasi kepala bodohmu itu kan, Idiot.”

“Mi-mika… n-namaku Mika…” berbisik lemah aku menundukkan kepala. Memperhatikan gerakan tangan Roy yang terlihat kaku dengan pekerjaanya.

Merasa salah bila aku melihatnya dari atas, aku membungkuk. Berusaha melihat lebih jelas dengan cara ia membuat rangkaian bunga tersebut. Dan waktu yang seharusnya aku habiskan untuk membaca kisah yang belum selesai terbaca, habis kugunakan untuk memperhatikan Roy yang sibuk membuat mahkota bunga lain.

***

“Heh? Yumi mendahuluiku untuk mengajarimu cara membaca rupanya,” runtuk nona Kaskiou. Berbeda dengan ucapannya yang lebih menuju pada kekesalan, seulas senyum tercetak oleh bibir pink pucat miliknya.

Bulan baru saja muncul saat nona Kaskiou mendapatiku sudah meringkuk di sisi tempat tidur dengan buku di atas pangkuanku—Yumi meminjamkannya saat tahu aku masih ingin menyelesaikan buku miliknya. Buru-buru aku bangkit. Mengucapkan salam dengan caraku sendiri—terbata, lalu mmbungkuk dalam seperti yang seharunya dilakukan saat menyapa majikan yang datang.

“Kumohon, berhenti bersikap seperti itu.”

“M-maaf…”

Don’t be,” gumam nona Kaskiou sedikit kesal. “Hn? Mahkota yang cantik. Siapa pasanganmu?”

“E-eh?”

Mungkin aku bisa mengucapkannya sebagai sebuah seringai, pada lengkungan yang tercipta di wajah nona Kaskiou saat beliau menunjuk rangkaian bunga dari Roy yang masih kukenakan.

“Ayolah, ratu tak mungkin tidak memiliki pasangan kan? Apa itu Roy? Ya ampun Mika… kau benar-benar nakal ya? Oh… belum apa-apa aku merasa ditinggalkan nih…”

Selama nona Kaskiou mengucapkan ceracauannya, aku merasa wajahku semakin panas. Dengan waktu yang pasti aku menjamin bahwa wajahku sudah seperti kepiting rebus. Menahan malu saat mengerti dengan ceracauan apa yang tengah diutarakan oleh nona Kaskiou.

***

“K-kata n-no-nona Kas-ki-kiou… kami pergi bes-besok, a-aku di-dimin-ta p-pamit,” gumamku. Yumi mengangguk paham. Mengacak-acak rambutku saat Roy mendengus sebal dengan berita yang baru saja kuucapkan.

Bila aku tak salah hitung, waktu itu aku sudah ada sekitar satu bulan lebih semenjak aku diajak ke Giribotey oleh nona Kaskiou. Dan aku tak pernah absen untuk bermain dengan Roy di padang bunga setiap harinya—Yumi memiliki beberapa hari absen karena harus masuk ke sekolah. Sementara itu nona Kaskiou akan berkeliaran di sekitar desa dengan pekerjaan yang entah apa aku tidak tahu.

Satu bulan adalah waktu yang cukup bagiku untuk bisa bersikap akrab dengan keduanya. Yumi yang tampak luarnya seperti gadis remaja yang manis dan lembut pada dasarnya adalah seorang wanita kuat yang terkadang mencampur adukkan pendidikan dan hal-hal berbau kasar. Roy… sekali pun ucapannya kasar dan menyebalkan, dia selalu bersikap baik. Kontradiksi yang menarik dari kedua kakak beradik tersebut.

Well, cepat atau lambat aku sudah tahu kau akan diseret oleh Kiou ke tempat yang antah berantah,” decak Yumi riang, melirik Roy yang masih memberengut di sampingnya. “Tapi… berusaha ingatkan Kiou bahwa kau harus kembali ke tempat ini. Wanita itu terkadang lebih memilih untuk menghabiskan waktu di suatu tempat dan lupa akan kewajibannya untuk mengunjungi kembali desa yang hampir kehabisan stok obat-obatan aneh bin ajaib miliknya,” lanjutnya lagi. Masih menyeringai jahil ke arah Roy.

“B-baik…”

“Baik, kalau begitu. Aku harus segera menyelesaikan tugasku—menabur benih, jadi Roy, jangan ganggu Mika untuk satu hari ini.”

Roy mendengus keras. Tanpa memandangku, ia menarik pergelangan tanganku, menuntunku menuju padang bunga yang selalu kami datangi setiap harinya. Yumi melambai kecil dan aku membalasnya. Merasa sedikit sesak karena itu kali terakhir aku memiliki kemungkinan untuk bisa bertemu dengannya.

Dan Roy… dia mendiamiku. Hingga matahari terbenam dan tak ada satu kata pun yang meluncur dari mulutnya. Bahkan saat aku mengajakya berbicara, ia hanya mendengus, mendengus, dan mendengus. Rasanya aku ingin menangis dengan perlakuan dinginnya itu.

Bahkan hingga aku dan nona Kaskiou berjalan melewati perbatasan keesokan harinya pun, Roy sama sekali tidak mengucapkan apa pun atau melirik ke arahku…

Dia bahkan tidak mengucapkan salam seperti Yumi yang mendatangiku pagi-pagi buta dengan beberapa buku tua yang diserahkan secara paksa padaku. Mungkin… itu artinya ia merasa senang karena anak perempuan yang baginya idiot pada akhirnya akan pergi. Memberinya kebebasan dari pertanyaan-pertanyaan yang baginya cukup aneh dan tidak masuk akal untuk ditanyakan oleh anak seusiaku.

Tidak salah aku memanggilnya dengan panggilkan kesayangan. Brengsek.

***

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada September 4, 2011 inci Series, The Color of Life

 

Tinggalkan komentar